Sabtu, 13 Desember 2008

DIK SEKKAU A-84 DITUTUP. ANY PROBLEMS?

Pendidikan Sekkau Angkatan 84 telah ditutup oleh Komandan Kodikau, Marsda TNI Sukirno SE MM hari Jum’at (12/12) lalu. Sebanyak 134 (+ 2 Pasis peserta ”Sekkau” AS) dinyatakan lulus semua. Sekkau pun – merujuk parlemen – memasuki masa ”reses” sampai dengan dibukanya Angkatan 85 awal Januari 2009.

Setiap kali sekolah ditutup, selalu menyisakan pertanyaan: seberapa besar tingkat penyerapan ”ilmu” yang diberikan lembaga masuk ke batok kepala para pasis itu? Cukup efektifkah sistem dan mekanisme belajar-mengajar yang selama ini dilaksanakan?

Testimoni

Secara formal segala persoalan yang menyangkut pelaksanaan pendidikan akan digelar pada rapat evaluasi yang dipimpin langsung oleh Komandan Sekkau, Kolonel Pnb Sugihardjo pekan depan. Namun pada kesempatan ini akan dipaparkan sebagian kecil dari pendapat (testimoni) para Pasis A-84 sebagai ”Obyek” pendidikan, yang barangkali bisa dijadikan sebagai semacam ”bahan baku” untuk rapat evaluasi formal nanti.

Pertama, soal hasil ujian. Banyak Pasis yang ”komplain” mengapa hasil ujian mata ajaran yang mereka kerjakan tidak ”dikembalikan” ke siswa. Mereka hanya tahu nilainya saja tanpa pernah melihat seperti apa ”koreksi” dari pemegang materi. Padahal itu penting bagi mereka untuk evaluasi diri sampai seberapa jauh pemahaman mereka terhadap materi itu sendiri. Ada yang merasa ”bisa mengerjakan” dan bahkan ”lancar” tapi kok nilainya jelek. Maka muncullah ”su’udzon”: jangan-jangan nilainya adalah hasil ”rekayasa”, dsb.

Kedua, pada saat Olah Yudha (OYU) Pasis merasa seolah-olah hanya ”main-main” belaka. Mereka tanya, mengapa skenarionya hanya ”sepihak” dalam arti pihak kawan sangat superior sedangkan musuh tidak berbuat apa-apa. Beberapa Patun beragumen, memang untuk level Sekkau baru demikian, nanti di Seskoau baru deh musuhnya bisa ”melawan”. Terus mereka juga protes mengapa RO yang digunakan dalam TAMG yang digunakan bukan dari Pasis tapi dari lembaga (Kolat)? Padahal sesuai tahapan yang mereka laksanakan, RO yang dipilih adalah yang dari Pasis. Piye iki? Tanya mereka.

Ketiga, soal ”aturan main” dalam menangani Pasis. Mereka mempertanyakan kewenangan Patun dalam “memplokotho” (baca: menindak/menghukum) Pasis ketika melakukan “kesalahan”. Apakah hal itu bukan menjadi wewenang Korsis? Mengapa kok tidak “seragam”, dalam arti hanya beberapa Patun saja yang “melakukannya”? jangan-jangan karena segelintir Patun itu saja yang punya “hobby” menindak karena dulu belum puas ketika masih di akademi. Mereka meminta agar hal ini diperhatikan untuk angkatan-angkatan selanjutnya.

Keempat, tentang ”etika” ketika seorang Patun ”mempermalukan” Patun lain di depan Pasis. Tentu saja hal itu sangat tidak baik karena bisa menurunkan kredibilitas korps Patun. Ya mbok jangan ”keminter”lah bagi yang merasa pinter. Lebih baik pakai ilmu padi: makin pinter makin merendah dan low profile sajalah... Pasis lah yang akan menilai bagaimana kualitas dan kredibilitas setiap Patun, dan hal ini tentu akan mendorong semua Patun untuk meningkatkan ”kualitas” diri masing-masing.

Kelima, para Pasis mengeluhkan tentang fasilitas mes yang kurang nyaman, terutama soal ketersediaan air dan bocornya atap. Salah seorang Patun sempat nyeletuk, kalian sekarang sudah super enak dan bagus fasilitasnnya, dulu jaman Sekkau 10 tahun yang lalu jauh lebih ”primitif”. Tapi, anyway, masukan itu tentu perlu difasilitasi dan ditindaklanjuti.

Next Time Better

Yah, pada akhirnya, kita semua menghendaki dan punya komitmen untuk mengelola lembaga pendidikan pengembangan umum tingkat dasar di Sekkau ini makin baik pada masa-masa mendatang. Tak ada gading yang tak retak, memang, dan justru karena itu pada saat evaluasi nanti semua pihak harus legowo sharing pendapat, kritik, dan masukan. Semua demi TNI AU kan?

Sesuai kalender pendidikan, Angkatan 85 akan dibuka tanggal 5 Januari 2009. Mari kita sambut adik-adik dengan penuh suka-cita untuk membuat mereka pintar dan cerdas sebagai generasi penerus (meneruskan yang baik-baik saja tentunya). Oke?***

Rabu, 22 Oktober 2008

Panglima : Silakan Ambil Bisnis TNI Asal Bisa Jamin Kesejahteraan Prajurit

Batam, (ANTARA News) - Pengambilalihan kegiatan bisnis Tentara Republik Indonesia (TNI) hendaknya sesuai dengan Undang-Undang No 34/2004 tentang TNI yang mengamanatkan bahwa negara menjamin kesejahteraan prajurit TNI.

"Silakan diambil alih dengan tetap berdasarkan UU 34," kata Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso di Batam kepada pers, Rabu.Pemerintah kini memproses realisasi pengambilalihan bisnis TNI sebagai pelaksanaan UU 34/2004 tentang TNI yang diundangkan Presiden Megawati Soekarnoputri 16 Oktober 2004.Isi Pasal 76 ayat (1) UU 34 tersebut memerintahkan, "Dalam jangka waktu lima tahun sejak berlakunya undang-undang ini, pemerintah harus mengambil alih seluruh aktivitas bisnis yang dimiliki dan dikelola oleh TNI, baik secara langsung maupun tidak langsung."

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, April 2008 melalui Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2008, membentuk Tim Nasional (Timnas) Pengalihan Aktivitas Bisnis TNI.Tim Supervisi Transformasi Bisnis TNI yang dibentuk sebelumnya telah mendata sekitar 1.900 koperasi dengan 605 unit usaha, dan 25 yayasan dengan 893 unit usaha.Panglima mengemukakan, kecuali akan ada verifikasi ulang, belum ada langkah drastis mengenai rencana pemerintah dalam pengambilalihan kegiatan bisnis TNI.

Djoko menyatakan, pertemuan dengan Timnas baru pada tahap perkenalan dan selanjutnya akan dilakukan penginventarisan ulang dan pembahasan pengklasifikasian bisnis TNI.Bisnis TNI, katanya, kebanyakan dilakukan di angkatan-angkatan, sedangkan di Detasemen Markas Mabes TNI hanya ada satu yaitu koperasi.Yayasan-yayasan TNI, menurut dia, ada yang bersifat sosial seperti sekolah yang dikelola ibu-ibu prajurit, selain yayasan yang bersifat usaha.

Mengenai koperasi, kata Panglima TNI, masih perlu dibahas apakah anggota TNI boleh atau tidak bergiat dalam koperasi yang berdasarkan UUD 1945 dan UU Koperasi justru dinyatakan sebagai salah satu sokoguru perekonomian nasional.Tentang masukan yang telah diajukan kepada pemerintah bagi kesejahteran prajurit, ia mengatakan hal itu antara lain kenaikan gaji, jaminan perumahan, asuransi, peningkatan layanan kesehatan prajurit dan keluarganya.

Panglima TNI berpendapat, pengambilalihan bisnis TNI kelak dilakukan tidak dengan pola kompensasi melainkan disesuaikan dengan kemampuan pemerintah yang juga mengemban amanat UU untuk menjamin profesionalitas dan kesejahteraan prajurit TNI. Bagi TNI, katanya, "bola" sekarang ada di tangan pemerintah untuk membuat rekomendasi.

Jaminan Kesejahteraan

Menurut catatan, UU TNI selain mengamanatkan pengambilalihan kegiatan bisnis TNI, juga mengatur bahwa negara, dalam hal ini pemerintah, menjamin kesejahteraan prajurit TNI.Jaminan tersebut termaktub dalam pasal 49 yang menyatakan, setiap prajurit TNI berhak memeroleh penghasilan yang layak dan dibiayai seluruhnya dari anggaran pertahanan negara yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja.

Dalam pasal 50 ayat (1) disebutkan, prajurit dan prajurit siswa memeroleh kebutuhan dasar yang meliputi perlengkapan perseorangan dan pakaian seragam dinas.Ayat (2) pasal itu mengatur, prajurit dan prajurit siswa memeroleh rawatan dan layanan kedinasan, meliputi penghasilan yang layak, tunjangan keluarga, perumahan, asrama atau mess, rawatan kesehatan, pembinaan mental dan pelayanan keagamaan, bantuan hukum, asuransi kesehatan dan jiwa, tunjangan hari tua dan asuransi penugasan operasi militer.

Selain itu, ayat (3) pasal tersebut mengatur bahwa keluarga prajurit memeroleh rawatan kedinasan, meliputi rawatan kesehatan, pembinaan mental dan keagamaan, bantuan hukum.Dalam pasal 50 ayat (4) ditegaskan penghasilan layak, diberikan rutin setiap bulan kepada prajurit aktif yang terdiri atas gaji pokok prajurit dan kenaikannya secara berkala sesuai dengan masa dinas, tunjangan keluarga, tunjangan operasi, tunjangan jabatan, tunjangan khusus, dan uang lauk pauk atau natura.

Pasal 51 (1), mengatur bahwa prajurit yang diberhentikan dengan hormat memeroleh rawatan dan layanan purnadinas.Rawatan dan layanan purnadinas sebagaimana dimaksud pasal 51 ayat (1) meliputi pensiun, tunjangan bersifat pensiun, tunjangan atau pesangon dan rawatan kesehatan.Dalam Pasal 66 UU 34 ayat (1) itu juga disebutkan, TNI dibiayai dari anggaran pertahanan negara yang berasal dari APBN.(*)

Rabu, 15 Oktober 2008

REFORMASI INTERNAL TNI : Kebijakan yang tak Bisa Dihindari

Runtuhnya rezim Orde Baru membawa konsekuensi logis bagi TNI untuk – suka atau tidak – menerima datangnya fajar reformasi sebagai fakta dan realita politik yang tak bisa dihindari. Gerakan reformasi nasional yang mengusung tiga agenda besar, yakni Penegakan Hukum, Demokratisasi, dan Penghormatan HAM, disikapi TNI dengan melakukan reformasi internal – menyusul tekanan eksternal yang demikian kuat, termasuk berbagai demo mahasiswa serta elemen-elemen rakyat proreformasi lainnya.

Esensi reformasi internal TNI adalah, pertama, secara bertahap meninggalkan peran sosial politik. Kedua, memusatkan perhatian kepada tugas pokok pertahanan nasional. Ketiga, menyerahkan fungsi dan tanggung jawab keamanan dalam negeri kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Keempat, meningkatkan konsistensi implementasi Doktrin Gabungan, dan kelima, meningkatkan kinerja manajemen internal.

Dalam buku “TNI Abad XXI – Redefinisi, Reposisi, dan Reaktualisasi Peran TNI Dalam Kehidupan Bangsa” (2001), Mabes TNI menepis pendapat sebagian kalangan publik bahwa reformasi internal TNI hanya mencakup penghapusan Dwifungsi, restrukturisasi fungsi territorial dan berbagai badan usaha yang berada di bawah naungan yayasan satuan-satuan TNI. Mereka – TNI – beranggapan bahwa apabila ditinjau secara menyeluruh dan fundamental atas pergeseran peran TNI dari pengakuan bangsa terhadap peran TNI sebagai “penjaga bangsa” (guardian of nation) menjadi peran TNI sebagai instrumen pertahanan nasional, maka tidak bisa tidak tinjauan harus dilakukan secara utuh menyeluruh dalam kerangka pembangunan sistem sebagai wujud fungsi pertahanan sebagai bagian dari upaya penyelenggaraan negara atas sistem nasional secara keseluruhan. Dalam kaitan itu, demikian argumentasi Cilangkap, reformasi internal TNI oleh karenanya tidak dapat dilaksanakan secara parsial atau sektoral, namun utuh menyeluruh menyentuh segenap dimensi mulai dari struktur, kultur, doktrin kepemimpinan serta moral dan etika.

Kebijakan reformasi internal TNI diimplementasikan melalui dua tahap. Tahap I, sebagai awal pelaksanaan reformasi internal TNI, telah dilaksanakan reformasi yang pada umumnya menyangkut penghapusan peran sosial politik TNI secara berahap. Bentuk akhir peran sosial politik yang masih dimiliki TNI saat ini adalah keberadaan 38 kursi TNI/Polri di DPR dan MPR. Hal itu dilakukan sebagai wujud kesepakatan bangsa untuk menghapuskan Dwifungsi secara bertahap, hingga akhirnya lepas sama sekali pada tahun 2004. Ketentuan yang berlaku saat ini sesuai dengan Tap MPR Nomor: VII/MPR/2000 adalah bahwa TNI-Polri diwakili di MPR selambat-lambatnya hingga tahun 2009. Sejalan dengan itu juga telah diselesaikan program penghapusan kekaryaan, yaitu penempatan prajurit aktif TNI-Polri dalam jabatan-jabatan yang tidak boleh dijabat oleh prajurit TNI-Polri melalui pentahapan pemberian kesempatan memilih salah satu dari tiga pilihan dalam masa transisi, yaitu pertama, tetap mempertahankan status prajurit dinas aktif namun melepaskan jabatan sipil yang dipangkunya. Atau, kedua, tetap berada dalam jabatan sipil yang dipangku, dengan melepas status prajurit dinas aktif melalui permohonan pensiun dini. Atau, ketiga, beralih status menjadi pegawai negeri sipil.

Dalam hal apabila seorang prajurit – sebutan prajurit berlaku untuk semua level kepangkatan dari terendah hingga tertinggi − akan mencalonkan diri dalam pemilihan jabatan publik, maka pada hakikatnya ia dicalonkan dalam kapasitasnya sebagai pribadi warga negara lepas dari institusi TNI. Hal ini berbeda dari keadaan sebelum reformasi ketika TNI masih menggunakan doktrin Dwifungsi, yaitu calon ABRI merupakan prajurit yang dicalonkan oleh, dan didukung oleh institusi ABRI sebagai wujud Dwifungsi dalam kekaryaan.

Dalam merespons masalah kebangsaan, TNI menempatkan diri dan mengadakan tinjauannya dari pendekatan TNI sebagai alat negara dalam fungsi pertahanan, TNI bersikap non partisan, memelihara jarak yang sama terhadap semua partai politik dan tidak memihak salah satu partai politik manapun. Namun netralitas TNI tidak diartikan sebagai tidak berpihak dalam masalah fundamental kebangsaan. Dalam masalah fundamental kebangsaan TNI bersikap konsisten dengan komitmen negara Proklamasi 17 Agustus 1945, Sapta Marga dan Sumpah Prajurit sesuai dengan kewenangan yang diberikan peraturan perundang-undangan terkait. Sikap dan kepentingan TNI dinyatakan melalui dan oleh Panglima TNI melalui prosedur dan mekanisme konstitusional yang telah mendapat kesepakatan bangsa, namun tidak sebagai sikap politik institusi yang dinyatakan kepada publik.

Reformasi internal Tahap II melakukan refungsionalisasi hubungan TNI sebagai institusi dengan berbagai organisasi Keluarga Besar TNI dan Korpri. Kalau di masa lalu organisasi Keluarga Besar TNI dan Korpri difungsikan sebagai alat sosial politik, maka kini hubungan tersebut dikembalikan menjadi hubungan fungsional dan kekeluargaan. Kepada perseorangan anggota Keluarga Besar TNI diberikan perlakuan sebagaimana warganegara untuk menyalurkan hak dan kewajiban politiknya sesuai dengan aspirasinya. Diharapkan kebebasan politik ini dapat digunakan sebaik-baiknya bagi kepentingan bangsa dan negara sesuai dengan pendekatan dasar konstitusi negara serta Sapta Marga dan Sumpah Prajurit.

Secara berurutan, langkah-langkah kebijakan reformasi internal TNI yang telah dilaksanakan adalah :
Pertama, perumusan Paradigma Baru TNI. Kedua, pemisahan Polri dari TNI. Ketiga, secara bertahap meninggalkan peran sosial politik dan tidak terlibat dalam kegiatan partisan. Keempat, pengakhiran doktrin kekaryaan sehingga tidak ada lagi prajurit dinas aktif yang menduduki jabatan yang tidak diperuntukkan bagi prajurit dinas aktif, dan telah berstatus sipil ketika menjadi calon dalam pemilihan jabatan publik. Kelima, likuidasi institusi sosial politik dalam struktur TNI. Keenam, netralitas TNI dalam pemilihan umum. Ketujuh, refungsionalisasi hubungan antara institusi TNI dengan berbagai organisasi Keluarga Besar TNI menjadi hubungan fungsional dan kekeluargaan.

Kedelapan, penempatan pembinaan organisasi Korpri TNI kembali dalam fungsi pembinaan personel. Kesembilan, perumusan konsepsi refungsionalisasi dan restrukturisasi territorial sebagai fungsi pemerintahan. Kesepuluh, membuka manajemen badan usaha yang bernaung di bawah Yayasan TNI terhadap transparansi profesionalisme manajemen berdasarkan kaidah manajemen badan usaha, dan audir publik. Kesebelas, meningkatkan pemahaman sadar hukum dan hak asasi manusia kepada prajurit secara keseluruhan. Keduabelas, memandang setiap masalah kebangsaan dari pendekatan peran TNI dan kewenangan sebagai instrumen pertahanan nasional yang dicirikan oleh Undang-Undang sesuai dengan kesepakatan bangsa (2001:11-16).

Karena TNI tidak hadir dalam isolasi maka keberhasilan reformasi internal TNI tidak dapat diselesaikan oleh TNI sendiri. Jika berbicara tentang dimensi waktu, rencana jadwal waktu hanya merupakan salah satu sisi dari alat kendali reformasi. Namun karena reformasi pada akhirnya banyak menyangkut proses alih pertimbangan dan justru lebih mengemuka adalah penilaian kualitatif kondisi fakta terkait seperti tingkat kesiapan institusi pengganti, tingkat pemahaman masyarakat serta manajemen internal TNI sendiri agar tidak terjadi wilayah vakum yang dapat mendatangkan risiko hambatan bahkan kegagalan.

Sinyal tentang tersendatnya reformasi internal TNI dilontarkan oleh Goerge Junus Aditjondro yang menyampaikan sorotan tajam terhadap perilaku politik militer di Indonesia. Akademisi dari Universitas Newcastle, Australia, itu berpendapat bahwa dominasi militer dalam pentas politik dimainkan dengan baik oleh para pensiunan jenderal yang ikut bergabung ke dalam tubuh hampir semua partai politik di Indonesia.

“Agenda reformasi untuk menghapuskan dwifungsi ABRI belum tercapai karena cengkeraman TNI kini merasuk ke sektor politik praktis dalam bentuk masuknya para jenderal berdasi ke berbagai parpol,” katanya (Jawa Pos, 4/2/01). Menurut George, militerisasi tetap hadir di tengah kehidupan politik di Indonesia kendati porsinya di lembaga perwakilan sudah dikurangi. Militer hadir dalam tiga bentuk yang berbeda di tengah masyarakat.

Pertama, dalam pemerintahan, yaitu berupa sejumlah jabatan yang sejak dulu dikuasai dan diberikan kepada militer, termasuk Badan Intelijen Negara (BIN), yang masih didominasi kalangan militer. Kedua, organisasi preman yang masih tetap berkeliaran di tengah masyarakat diduga juga mendapat dukungan dari militer. Ketiga, dominasi militer di tengah kehidupan masyarakat Indonesia diwujudkan dalam bentuk masuknya para jenderal ke dalam partai politik.

Memang benar, para jenderal pensiunan itu tidak memiliki hubungan struktural dengan militer. Tetapi mereka tetap memiliki ikatan moral dengan induknya. Sikap para jenderal berdasi itu, menurut George, sudah mengakar secara organik dengan militer. Dengan begitu, tindakan dan kebijakannya tidak akan menentang kalau tidak ingin disebut mendukung kebijakan militer.
Secara demikian, sebagai sebuah kebijakan, reformasi internal TNI memang masih bermasalah – sebagaimana dikemukakan Dunn bahwa “masalah-masalah kebijakan adalah kebutuhan, nilai-nilai, atau kesempatan-kesempatan yang tidak terealisir tetapi yang dapat dicapai melalui tindakan publik” (Dunn, 2000:210). Tanpa tindakan dan dukungan publik – termasuk kontrol ataupun kritik −, reformasi internal TNI bisa macet di tengah jalan dan tak pernah terwujud secara optimal.***(agussmart)

Senin, 13 Oktober 2008

BUAH MANGGA BUAH ZAITUN

Ya, buah mangga buah zaitun, aku bangga jadi patun. Begitulah peribahasa, pantun, atau apapun namanya, yang selalu dikumandangkan oleh komunitas perwira penuntun alias patun di lingkungan pendidikan pengembangan umum TNI manapun, termasuk SEKKAU (Sekolah Komando Kesatuan TNI AU) tercinta ini.

Ya pasti banggalah, karena jadi patun identik dengan jadi guru, sedang guru itu "pahlawan tanpa tanda jasa" hehehe... padahal patun dapat tanda jasa lho, DWIJASISTHA namanya. Jadi lebih elit sedikit dibanding guru biasa. Tapi by the way soal guru jadi ingat Bu Muslimah, itu guru hebat yang ada di novel LASKAR PELANGI karya Andrea Hirata yang filmnya kini meledak ditonton lebih dari sejuta orang dalam tempo seminggu. Kemarin pak SBY juga nonton dan komentarnya oke.Kembali ke laptop, eh, patun.

Ya, pada hari ini atas inisiatif pribadi yang didukung temans patun, saya bikin blog ini untuk menampung segala macam hal yang terkait dengan dunia perpatunan, khususnya di lingkungan Sekkau. Ini adalah ajang bebas bagi para patun yang ingin curhat, menuangkan ide-ide brilyannya, atau apapun jugalah. Betapa tidak, teknologi tersedia, kemampuan juga ada, gratis pula (listrik, hotspot, ac, blog, dll) kenapa tidak dimanfaatkan untuk sebesar-besar kesejahteraan intelektual kita? ya to?

Ini posting awal yang ditulis tanpa rencana, spontan, berkat situasi tidak pulang kampung alias tinggal di barak, yang dimanfaatkan dengan amat positif dan konstruktif. Oke para patun, mari kita singsingkan lengan baju untuk menuntun adik-adik pasis menyongsong masa depan mereka yang lebih cerah dan menjanjikan. Buat pasis, tidak haram anda memberikan komentar atas posting-posting di blog ini nantinya, termasuk khalayak ramai. Ini dunia bebas, tak mungkin dibarikade dengan tembok berlin ataupun tembok yerusalem sekalipun. This is free market of ideas.***(agussmart)