Rabu, 15 Oktober 2008

REFORMASI INTERNAL TNI : Kebijakan yang tak Bisa Dihindari

Runtuhnya rezim Orde Baru membawa konsekuensi logis bagi TNI untuk – suka atau tidak – menerima datangnya fajar reformasi sebagai fakta dan realita politik yang tak bisa dihindari. Gerakan reformasi nasional yang mengusung tiga agenda besar, yakni Penegakan Hukum, Demokratisasi, dan Penghormatan HAM, disikapi TNI dengan melakukan reformasi internal – menyusul tekanan eksternal yang demikian kuat, termasuk berbagai demo mahasiswa serta elemen-elemen rakyat proreformasi lainnya.

Esensi reformasi internal TNI adalah, pertama, secara bertahap meninggalkan peran sosial politik. Kedua, memusatkan perhatian kepada tugas pokok pertahanan nasional. Ketiga, menyerahkan fungsi dan tanggung jawab keamanan dalam negeri kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Keempat, meningkatkan konsistensi implementasi Doktrin Gabungan, dan kelima, meningkatkan kinerja manajemen internal.

Dalam buku “TNI Abad XXI – Redefinisi, Reposisi, dan Reaktualisasi Peran TNI Dalam Kehidupan Bangsa” (2001), Mabes TNI menepis pendapat sebagian kalangan publik bahwa reformasi internal TNI hanya mencakup penghapusan Dwifungsi, restrukturisasi fungsi territorial dan berbagai badan usaha yang berada di bawah naungan yayasan satuan-satuan TNI. Mereka – TNI – beranggapan bahwa apabila ditinjau secara menyeluruh dan fundamental atas pergeseran peran TNI dari pengakuan bangsa terhadap peran TNI sebagai “penjaga bangsa” (guardian of nation) menjadi peran TNI sebagai instrumen pertahanan nasional, maka tidak bisa tidak tinjauan harus dilakukan secara utuh menyeluruh dalam kerangka pembangunan sistem sebagai wujud fungsi pertahanan sebagai bagian dari upaya penyelenggaraan negara atas sistem nasional secara keseluruhan. Dalam kaitan itu, demikian argumentasi Cilangkap, reformasi internal TNI oleh karenanya tidak dapat dilaksanakan secara parsial atau sektoral, namun utuh menyeluruh menyentuh segenap dimensi mulai dari struktur, kultur, doktrin kepemimpinan serta moral dan etika.

Kebijakan reformasi internal TNI diimplementasikan melalui dua tahap. Tahap I, sebagai awal pelaksanaan reformasi internal TNI, telah dilaksanakan reformasi yang pada umumnya menyangkut penghapusan peran sosial politik TNI secara berahap. Bentuk akhir peran sosial politik yang masih dimiliki TNI saat ini adalah keberadaan 38 kursi TNI/Polri di DPR dan MPR. Hal itu dilakukan sebagai wujud kesepakatan bangsa untuk menghapuskan Dwifungsi secara bertahap, hingga akhirnya lepas sama sekali pada tahun 2004. Ketentuan yang berlaku saat ini sesuai dengan Tap MPR Nomor: VII/MPR/2000 adalah bahwa TNI-Polri diwakili di MPR selambat-lambatnya hingga tahun 2009. Sejalan dengan itu juga telah diselesaikan program penghapusan kekaryaan, yaitu penempatan prajurit aktif TNI-Polri dalam jabatan-jabatan yang tidak boleh dijabat oleh prajurit TNI-Polri melalui pentahapan pemberian kesempatan memilih salah satu dari tiga pilihan dalam masa transisi, yaitu pertama, tetap mempertahankan status prajurit dinas aktif namun melepaskan jabatan sipil yang dipangkunya. Atau, kedua, tetap berada dalam jabatan sipil yang dipangku, dengan melepas status prajurit dinas aktif melalui permohonan pensiun dini. Atau, ketiga, beralih status menjadi pegawai negeri sipil.

Dalam hal apabila seorang prajurit – sebutan prajurit berlaku untuk semua level kepangkatan dari terendah hingga tertinggi − akan mencalonkan diri dalam pemilihan jabatan publik, maka pada hakikatnya ia dicalonkan dalam kapasitasnya sebagai pribadi warga negara lepas dari institusi TNI. Hal ini berbeda dari keadaan sebelum reformasi ketika TNI masih menggunakan doktrin Dwifungsi, yaitu calon ABRI merupakan prajurit yang dicalonkan oleh, dan didukung oleh institusi ABRI sebagai wujud Dwifungsi dalam kekaryaan.

Dalam merespons masalah kebangsaan, TNI menempatkan diri dan mengadakan tinjauannya dari pendekatan TNI sebagai alat negara dalam fungsi pertahanan, TNI bersikap non partisan, memelihara jarak yang sama terhadap semua partai politik dan tidak memihak salah satu partai politik manapun. Namun netralitas TNI tidak diartikan sebagai tidak berpihak dalam masalah fundamental kebangsaan. Dalam masalah fundamental kebangsaan TNI bersikap konsisten dengan komitmen negara Proklamasi 17 Agustus 1945, Sapta Marga dan Sumpah Prajurit sesuai dengan kewenangan yang diberikan peraturan perundang-undangan terkait. Sikap dan kepentingan TNI dinyatakan melalui dan oleh Panglima TNI melalui prosedur dan mekanisme konstitusional yang telah mendapat kesepakatan bangsa, namun tidak sebagai sikap politik institusi yang dinyatakan kepada publik.

Reformasi internal Tahap II melakukan refungsionalisasi hubungan TNI sebagai institusi dengan berbagai organisasi Keluarga Besar TNI dan Korpri. Kalau di masa lalu organisasi Keluarga Besar TNI dan Korpri difungsikan sebagai alat sosial politik, maka kini hubungan tersebut dikembalikan menjadi hubungan fungsional dan kekeluargaan. Kepada perseorangan anggota Keluarga Besar TNI diberikan perlakuan sebagaimana warganegara untuk menyalurkan hak dan kewajiban politiknya sesuai dengan aspirasinya. Diharapkan kebebasan politik ini dapat digunakan sebaik-baiknya bagi kepentingan bangsa dan negara sesuai dengan pendekatan dasar konstitusi negara serta Sapta Marga dan Sumpah Prajurit.

Secara berurutan, langkah-langkah kebijakan reformasi internal TNI yang telah dilaksanakan adalah :
Pertama, perumusan Paradigma Baru TNI. Kedua, pemisahan Polri dari TNI. Ketiga, secara bertahap meninggalkan peran sosial politik dan tidak terlibat dalam kegiatan partisan. Keempat, pengakhiran doktrin kekaryaan sehingga tidak ada lagi prajurit dinas aktif yang menduduki jabatan yang tidak diperuntukkan bagi prajurit dinas aktif, dan telah berstatus sipil ketika menjadi calon dalam pemilihan jabatan publik. Kelima, likuidasi institusi sosial politik dalam struktur TNI. Keenam, netralitas TNI dalam pemilihan umum. Ketujuh, refungsionalisasi hubungan antara institusi TNI dengan berbagai organisasi Keluarga Besar TNI menjadi hubungan fungsional dan kekeluargaan.

Kedelapan, penempatan pembinaan organisasi Korpri TNI kembali dalam fungsi pembinaan personel. Kesembilan, perumusan konsepsi refungsionalisasi dan restrukturisasi territorial sebagai fungsi pemerintahan. Kesepuluh, membuka manajemen badan usaha yang bernaung di bawah Yayasan TNI terhadap transparansi profesionalisme manajemen berdasarkan kaidah manajemen badan usaha, dan audir publik. Kesebelas, meningkatkan pemahaman sadar hukum dan hak asasi manusia kepada prajurit secara keseluruhan. Keduabelas, memandang setiap masalah kebangsaan dari pendekatan peran TNI dan kewenangan sebagai instrumen pertahanan nasional yang dicirikan oleh Undang-Undang sesuai dengan kesepakatan bangsa (2001:11-16).

Karena TNI tidak hadir dalam isolasi maka keberhasilan reformasi internal TNI tidak dapat diselesaikan oleh TNI sendiri. Jika berbicara tentang dimensi waktu, rencana jadwal waktu hanya merupakan salah satu sisi dari alat kendali reformasi. Namun karena reformasi pada akhirnya banyak menyangkut proses alih pertimbangan dan justru lebih mengemuka adalah penilaian kualitatif kondisi fakta terkait seperti tingkat kesiapan institusi pengganti, tingkat pemahaman masyarakat serta manajemen internal TNI sendiri agar tidak terjadi wilayah vakum yang dapat mendatangkan risiko hambatan bahkan kegagalan.

Sinyal tentang tersendatnya reformasi internal TNI dilontarkan oleh Goerge Junus Aditjondro yang menyampaikan sorotan tajam terhadap perilaku politik militer di Indonesia. Akademisi dari Universitas Newcastle, Australia, itu berpendapat bahwa dominasi militer dalam pentas politik dimainkan dengan baik oleh para pensiunan jenderal yang ikut bergabung ke dalam tubuh hampir semua partai politik di Indonesia.

“Agenda reformasi untuk menghapuskan dwifungsi ABRI belum tercapai karena cengkeraman TNI kini merasuk ke sektor politik praktis dalam bentuk masuknya para jenderal berdasi ke berbagai parpol,” katanya (Jawa Pos, 4/2/01). Menurut George, militerisasi tetap hadir di tengah kehidupan politik di Indonesia kendati porsinya di lembaga perwakilan sudah dikurangi. Militer hadir dalam tiga bentuk yang berbeda di tengah masyarakat.

Pertama, dalam pemerintahan, yaitu berupa sejumlah jabatan yang sejak dulu dikuasai dan diberikan kepada militer, termasuk Badan Intelijen Negara (BIN), yang masih didominasi kalangan militer. Kedua, organisasi preman yang masih tetap berkeliaran di tengah masyarakat diduga juga mendapat dukungan dari militer. Ketiga, dominasi militer di tengah kehidupan masyarakat Indonesia diwujudkan dalam bentuk masuknya para jenderal ke dalam partai politik.

Memang benar, para jenderal pensiunan itu tidak memiliki hubungan struktural dengan militer. Tetapi mereka tetap memiliki ikatan moral dengan induknya. Sikap para jenderal berdasi itu, menurut George, sudah mengakar secara organik dengan militer. Dengan begitu, tindakan dan kebijakannya tidak akan menentang kalau tidak ingin disebut mendukung kebijakan militer.
Secara demikian, sebagai sebuah kebijakan, reformasi internal TNI memang masih bermasalah – sebagaimana dikemukakan Dunn bahwa “masalah-masalah kebijakan adalah kebutuhan, nilai-nilai, atau kesempatan-kesempatan yang tidak terealisir tetapi yang dapat dicapai melalui tindakan publik” (Dunn, 2000:210). Tanpa tindakan dan dukungan publik – termasuk kontrol ataupun kritik −, reformasi internal TNI bisa macet di tengah jalan dan tak pernah terwujud secara optimal.***(agussmart)

1 komentar:

SUGIHARDJO@DELAPAN_DUA mengatakan...

REFORMASI INTERNAL TNI

KEBIJAKAN YANG TAK DAPAT DIHINDARI ADALAH PENDAPAT YANG SERATUS PERSEN BENAR-menurut saya,

karena pada dasarnya reformasi merupakan bagian dari suatu perubahan dalam dinamika kehidupan, dimana perubahan itu sendiri sangat dibutuhkan karena adanya tuntutan dari dunia sekitar. Dengan kata lain apapun namanya dan siapapun orangnya atau kelompoknya jika ingin tetap aksis dan diterima oleh masyarakat harus mampu beradaftasi mengikuti perkembangan sekitarnya, kalau tidak ingin ditinggalkan atau malah dihakimi oleh seluruh elemen masyarakat. jadi sebenarnya masalah reformasi internal TNI memang merupakan suatu hal wajar yang harus dilaksanakan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan perubahan jaman, yang menjadi masalah adalah bagaimana kita mampu mensosialisasikan perubahan-perubahan tersebut kepada seluruh elemen masyarakat agar bisa diterima dan difahami sebab musabab dan mengapa harus demikian dan tidak kalah pentingnya kitapun harus dapat menjawab adanya tanggapan-tanggapan yang dinilai kurang mengena terhadap substansi akar permasalahan apalagi pendapat dalam tanggapan tersebut bersipat propokatif yang akan mempengaruhi banyak orang yang membaca atau mendengarnya melalui media elektronik dan media lainnya

TANGGAPAN GEORGE YUNUS ADICONDRO

seperti salah satu pendapat Geoge Yunus Adi Condro Bahwa reformasi internal TNI akan mandek karena masih banyaknya person TNI yang berkiprah di dunia politik. Hal inilah yang perlu kita antisipasi, mungkin bukan hanya dia saja yang berpendapat seperti itu, tapi masih banyak lagi geoge Adi Condro lainnya yang perlu kita luruskan apa hak warga negara dan apa kewajiban warga negara. Apakah kalau pensiunan TNI itu bukan warga negara biasa yang punya hak dan kewajiban sama dengan warga negara lainnya, saya pikir sama saja dengan jaksa, ekonom, tehnokrat atau rohaniwan/kyai sekalipun mereka boleh-boleh saja berkiprah didunia politik atau bidang apapun yang mereka iinginkan selama mereka mampu, toh akhirnya masyarakat juga yang akan menilai. Dan khususnya bidang politik bila dilihat dari banyaknya opini masyarakat yang masih menginginkan dipimpin oleh orang yang notabene mantan TNI/Polri, hal itu menunjukan bahwa kualitas individu dari personal mantan TNI memang masih lebih baik dibanding dengan yang lain, walaupun banyak juga para petinggi negara ini juga banyak yang sangat berkualitas bukan dari kalangan TNI. Namun demikian hal ini menunjukan bahwa secara tidak langsung masyarakat umum sudah mengakui bahwa kualitas personal TNI memang baik dan hal ini tidak terlepas dari sistem pembinaan yang dilaksanakan dilingkungan TNI dengan sistem komandonya yang mampu menjangkau sampai ke wilayah perbatasan, seharusnya sistem pembinaan inilah yang harusnya dicontoh oleh para elit penyelenggara negara atau para pengamat, bagaimana TNI mampu melaksanakan setiap tugas seberat apapun dan dengan biaya yang sekecil-kecilnya mampu mencapai hasil yang optimal. Mungkin karena kurangnya sosialisasi saja tentang bagaimana reformasi TNI dengan segala implikasinya atau mungkin juga selama ini dalam berjalannya sejarah masa lampau ada doktrin-doktrin TNI yang kurang pas dimata masyarakat seperti TNI harus selalu terdepan, menjadi inspirator, motivator, dinamisator dll, atau juga banyak oknum TNI memiliki tingkah laku yang tidak sesuai dengan doktrin atau ketentuan yang berlaku seperti Sumpah Prajurit,Saptamarga,8 wajib TNI, 11 Azas Kepemimpinan dll..atau bisa saja sdr George Yunus adicondro adalah salah satu korban dari penistaan yang dilakukan oleh TNI atau rejim TNI yang memerintah selama 32 tahun ? bisa saja toh ? oleh karena itu kita sebagai bagian dari TNI harus merasa bangga dan terus memperjuangkan kebanggaan tersebut dengan berkarya sekecil apapun yang bermanfaat bagi masyarakat,bangsa dan negara...jangan sia-siakan setiap waktu yang ada, mari kita ajak saudara kita sebangsa dan setanah air untuk berpikir maju menatap masa depan lebih baik.